Nama : Muhammad Yusup
kelas :2ka32
NPM : 15111013
sumber :google.
1)
Pengertian kepemimpinan dan perkembangan Teori Kemampuan
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh
oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam
upaya mencapai tujuan organisasi. Caraalamiah mempelajari
kepemimpinan adalah "melakukannya dalam kerja" dengan praktik seperti
pemagangan pada seorang seniman ahli, pengrajin, atau praktisi. Dalam
hubungan ini sang ahli diharapkan sebagai bagian dari peranya memberikan
pengajaran/instruksi.
Dalam perkembangannya, studi tentang
kepemimpinan berkembang sejalan dengan kemajuan zaman yang dikategorikan Yukl
(2005:12) menjadi lima pendekatan yaitu : (1) pendekatan ciri, (2) pendekatan
perilaku; (3) pendekatan kekuatan – pengaruh; (4) pendekaan situasional; dan
(5) pendekatan integrative
Teori Genetik (Genetic Theory).
Penjelasan kepemimpinan yang paling
lama adalah teori kepemimpinan “genetic” dengan ungkapan yang sangat populer
waktu itu yakni “a leader is born, not made”. Seorang dilahirkan dengan membawa
sifat-sifat kepemimpinan dan tidak perlu belajar lagi. Sifat-sifat utama
seorang pemimpin diperoleh secara genetik dari orang tuanya.
Teori Sifat (Trait Theory).
Sesuai dengan namanya, maka teori
ini mengemukakan bahwa efektivitas kepemimpinan sangat tergantung pada
kehebatan karakter pemimpin. “Trait” atau sifat-sifat yang dimiliki antara lain
kepribadian, keunggulan fisik dan kemampuan social. Penganut teori ini yakin
dengan memiliki keunggulan karakter di atas, maka seseorang akan memiliki
kualitas kepemimpinan yang baik dan dapat menjadi pemimpin yang efektif.
Karakter yang harus dimiliki oleh seseorang menurut Judith R. Gordon mencakup
kemampuan yang istimewa dalam (1) Kemampuan Intelektual (2) Kematangan Pribadi
(3) Pendidikan (4) Status Sosial dan Ekonomi (5) “Human Relations” (6) Motivasi
Intrinsik dan (7) Dorongan untuk maju (achievement drive).
Teori Perilaku (The Behavioral
Theory).
Mengacu pada keterbatasan peramalan
efektivitas kepemimpinan melalui teori “trait”, para peneliti pada era Perang
Dunia ke II sampai era di awal tahun 1950-an mulai mengembangkan pemikiran
untuk meneliti “behavior” atau perilaku seorang pemimpin sebagai cara untuk
meningkatkan efektivitas kepemimpinan. Fokus pembahasan teori kepemimpinan pada
periode ini beralih dari siapa yang memiliki kemampuan memimpin ke bagaimana
perilaku seseorang untuk memimpin secara efektif.
Situasional Leadership.
Pengembangan teori situasional
merupakan penyempurnaan dan kekurangan teori-teori sebelumnya dalam meramalkan
kepemimpinan yang paling efektif. Dalam “situational leadership” pemimpin yang
efektif akan melakukan diagnose situasi, memilih gaya kepemimpinan yang efektif
dan menerapkannya secara tepat. Seorang pemimpin yang efektif dalam teori ini
harus bisa memahami dinamika situasi dan menyesuaikan kemampuannya dengan
dinamika situasi yang ada. Empat dimensi situasi yakni kemampuan manajerial,
karakter organisasi, karakter pekerjaan dan karakter pekerja. Keempatnya secara
dinamis akan memberikan pengaruh terhadap efektivitas kepemimpinan seorang
Transformational Leadership.
Pemikiran terakhir mengenai
kepemimpinan yang efektif disampaikan oleh sekelompok ahli yang mencoba
“menghidupkan” kembali teori “trait” atau sifat-sifat utama yang dimiliki
seseorang agar dia bisa menjadi pemimpin. Robert House menyampaikan teori
kepemimpinan dengan menyarankan bahwa kepemimpinan yang efektif mempergunakan
dominasi, memiliki keyakinan diri, mempengaruhi dan menampilkan moralitas yang
tinggi untuk meningkatkan kadar kharismatiknya (Ivancevich, dkk, 2008:213)
Dengan mengandalkan kharisma,
seorang pemimpin yang “transformational” selalu menantang bawahannya untuk
melahirkan karya-karya yang istimewa. Langkah yang dilaksanakan pada umumnya
adalah dengan membicarakan dengan pengikutnya, bagaimana sangat pentingnya
kinerja mereka, bagaimana bangga dan yakinnya mereka sebagai anggota kelompok
dan bagaimana istimewanya kelompok sehingga dapat menghasilkan karya yang
inovatif serta luar biasa.
Menurut pencetus teori ini, pemimpin
“transformational” adalah sangat efektif karena memadukan dua teori yakni teori
“behavioral” dan “situational” dengan kelebihan masing-masing. Atau, memadukan
pola perilaku yang berorientasi pada manusia atau pada produksi (employee or
production-oriented) dengan penelaahan situasi ditambah dengan kekuatan
kharismatik yang dimilikinya. Tipe pemimpin transformational ini sesuai untuk
organisasi yang dinamis, yang mementingkan perubahan dan inovasi serta bersaing
ketat dengan perusahaan-perusahaan lain dalam ruang lingkup internasional.
Syarat utama keberhasilannya adalah adanya seorang pemimpin yang memiliki
kharisma.
Teori perkembangan
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980.
Teorinya memberikan banyak konsep utama
dalam lapangan psikologi perkembangan
dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget, berarti
kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan melakukan
operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan. Teori ini
membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang bagaimana
seseorang mempersepsi lingkungannya— dalam tahapan-tahapan perkembangan, saat
seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini
digolongkan ke dalam konstruktivisme,
yang berarti, tidak seperti teori nativisme (yang menggambarkan perkembangan
kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan), teori ini
berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui tindakan yang
termotivasi dengan sendirinya terhadap
lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus Prize.
Piaget membagi skema yang digunakan anak untuk memahami
dunianya melalui empat periode utama yang berkorelasi dengan dan semakin
canggih seiring pertambahan usia:
- Periode sensorimotor (usia 0–2 tahun)
- Periode praoperasional (usia 2–7 tahun)
- Periode operasional konkrit (usia 7–11 tahun)
- Periode operasional formal (usia 11 tahun sampai
dewasa)
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah
refleks bawaan selain juga dorongan untuk
mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks
bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat
periode. Piaget berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan
dan pemahaman spatial penting dalam enam sub-tahapan:
- Sub-tahapan skema refleks, muncul saat lahir
sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular primer, dari
usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan
munculnya kebiasaan-kebiasaan.
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular sekunder,
muncul antara usia empat sampai sembilan bulan dan berhubungan terutama
dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
- Sub-tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder,
muncul dari usia sembilan sampai duabelas bulan, saat berkembangnya
kemampuan untuk melihat objek sebagai sesuatu yang permanen walau
kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
- Sub-tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul
dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama
dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
- Sub-tahapan awal representasi simbolik,
berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.